Diskusi imajiner diskusi dengan siswa MA dan juga santri Dayah
Di sebuah kelas Fisika, suasana tampak tenang, namun seorang siswa mengangkat tangan dengan ekspresi sedikit ragu. Ia tampak kurang tertarik dengan pelajaran yang sedang diajarkan.
Siswa:
“Pak, saya ingin bertanya. Apa pentingnya fisika diajarkan? Apa manfaatnya? Bukankah fisika itu ilmu dunia? Para penemunya juga kebanyakan orang yang tidak beriman. Jadi, apakah fisika ada manfaatnya dalam keimanan? Mengapa ada perbedaan antara ilmu dunia dan ilmu agama? Orang tua saya ingin saya mendalami ilmu agama dan menjadi ulama dan melanjutkan studi ke Mesir. Apakah itu lebih tepat, Pak? Karena setahu saya, ilmuwan sains sering jauh dari agama.”
Pak Samsul (Guru Fisika):
(Sambil tersenyum) “Pertanyaan yang sangat bagus. Saya senang kamu berpikir kritis. Saya akan menjawabnya satu per satu.”
“Pertama, tentang pentingnya fisika. Fisika adalah ilmu yang menjelaskan bagaimana alam semesta bekerja. Dengan fisika, kita memahami bagaimana bumi berputar, bagaimana hujan turun, bagaimana listrik bekerja, bahkan bagaimana tubuh manusia bergerak. Semua ini adalah tanda-tanda kebesaran Allah yang bisa kita pelajari.”
“Kedua, soal manfaatnya dalam keimanan. Justru dengan memahami fisika, kita bisa semakin yakin dengan kebesaran Allah. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
‘Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.’ (QS. Ali Imran: 190).
Ilmu fisika membantu kita memahami tanda-tanda ini. Contohnya, hukum gravitasi yang menjaga keseimbangan bumi, atau hukum termodinamika yang mengatur energi di alam semesta. Semua ini menunjukkan bahwa alam semesta diatur dengan sangat teliti oleh Allah.”
Siswa:
“Tapi, Pak, bukankah para ilmuwan yang menemukan hukum-hukum fisika itu kebanyakan orang Barat yang tidak beriman?”
Pak Samsul:
“Memang benar, banyak ilmuwan modern berasal dari Barat, tapi jangan lupa bahwa Islam pernah melahirkan banyak ilmuwan besar seperti Al-Farabi, Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan Al-Biruni. Mereka bukan hanya ahli sains tetapi juga orang-orang yang taat beragama.”
“Selain itu, ilmu itu sifatnya universal. Ketika kita menemukan hukum gravitasi, misalnya, bukan berarti kita menciptakannya, tapi kita hanya memahami hukum yang sudah Allah tetapkan di alam ini. Sama seperti ketika seorang ulama memahami hukum fiqh dalam Islam. Ilmu agama dan ilmu dunia itu tidak bertentangan, justru saling melengkapi.”
Siswa:
“Tapi, Pak, orang tua saya ingin saya menjadi ulama. Bukankah itu lebih utama?”
Pak Samsul:
“Itu pilihan yang mulia. Tapi, tahukah kamu bahwa banyak ulama di masa lalu juga menguasai ilmu dunia? Imam Al-Ghazali misalnya, selain ahli dalam ilmu agama, juga paham filsafat dan logika. Ibnu Sina adalah dokter sekaligus ahli fikih. Bahkan Imam Syafi’i terkenal dengan pemikirannya yang logis dan sistematis.”
“Jika kamu ingin menjadi ulama, itu luar biasa. Tapi jangan menutup diri dari ilmu sains. Bayangkan jika kita memiliki ulama yang juga ahli fisika atau teknologi, bukankah itu akan sangat bermanfaat bagi umat?”
Siswa:
(Jadi berpikir) “Jadi, belajar fisika juga bisa menjadi bagian dari ibadah?”
Pak Samsul:
“Tepat sekali! Jika niat kita benar, belajar fisika bisa menjadi ibadah. Ketika kamu mempelajari fisika untuk memahami kebesaran Allah, untuk membantu umat manusia, atau bahkan untuk menciptakan teknologi yang bermanfaat, itu semua bernilai pahala.”
Siswa:
(Sambil tersenyum) “Wah, saya baru sadar kalau fisika juga bisa membawa kita lebih dekat kepada Allah.”
Pak Samsul:
(Tersenyum) “Alhamdulillah. Ingat, Islam itu agama yang mencintai ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu dunia. Keduanya bisa membawa kita lebih dekat kepada Allah, jika kita memahami dengan benar.”
Diskusi di kelas pun berlanjut dengan semangat baru. Beberapa siswa yang sebelumnya kurang tertarik dengan fisika mulai melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.
Pak Samsul melanjutkan penjelasannya dengan lebih semangat. Beberapa siswa yang sebelumnya tampak bosan kini mulai tertarik mendengarkan.
Pak Samsul:
“Kita ini umat yang diperintahkan untuk membaca, Iqra’! (QS. Al-‘Alaq: 1). Membaca bukan hanya berarti membaca Al-Qur'an, tetapi juga membaca alam semesta. Karena di dalamnya ada ayat-ayat kauniyah, tanda-tanda kebesaran Allah yang bisa kita pahami melalui ilmu sains, termasuk fisika.”
Siswa:
“Tapi, Pak, kalau memang fisika itu penting, kenapa kebanyakan ilmuwan modern seperti Einstein atau Newton tidak membahas Tuhan?”
Pak Samsul:
“Itu pertanyaan menarik. Sebagian ilmuwan mungkin tidak menyebut nama Allah secara langsung, tetapi mereka tetap mengagumi keteraturan alam semesta. Einstein misalnya, pernah berkata, ‘Tuhan tidak bermain dadu dengan alam semesta,’ yang menunjukkan bahwa ia percaya ada keteraturan di alam ini.”
“Lagipula, Islam tidak menilai seseorang hanya dari siapa yang menemukan sesuatu, tetapi dari bagaimana kita mengambil manfaat darinya. Jika kita mengambil ilmu fisika dan menggunakannya untuk kebaikan, maka kita sedang mengamalkan ajaran Islam. Sama seperti makanan, meskipun diciptakan oleh orang non-Muslim, jika halal dan bermanfaat, tetap boleh kita makan, kan?”
Siswa lain (ikut bertanya):
“Jadi, Pak, apakah kita bisa menjadi ilmuwan dan tetap menjadi orang yang taat beragama?”
Pak Samsul:
“Tentu! Tidak ada larangan dalam Islam untuk menjadi ilmuwan. Justru, kita butuh lebih banyak ilmuwan Muslim yang bisa membawa kemajuan bagi umat. Bayangkan jika seorang ulama juga ahli teknologi, ia bisa membuat inovasi untuk membantu umat Islam, seperti teknologi untuk menentukan waktu shalat secara akurat, atau sistem energi terbarukan untuk membantu masyarakat miskin. Itu juga bagian dari dakwah.”
Siswa (yang bertanya pertama):
“Pak, saya baru paham sekarang. Jadi, kalau saya ingin mendalami agama, saya juga tidak boleh menutup diri dari ilmu dunia?”
Pak Samsul:
“Benar sekali. Ulama besar seperti Ibnu Rusyd dan Al-Kindi dulu juga ahli dalam berbagai bidang ilmu. Jika kamu ingin menjadi ulama, itu mulia, tapi jangan abaikan ilmu dunia. Ilmu agama membimbing kita dalam kehidupan, sedangkan ilmu dunia membantu kita menjalani kehidupan dengan lebih baik. Keduanya harus berjalan beriringan.”
Siswa:
(Sambil tersenyum) “Terima kasih, Pak. Saya jadi lebih semangat belajar fisika sekarang. Mungkin saya bisa menjadi ilmuwan Muslim yang juga memahami agama.”
Pak Samsul:
(tersenyum bangga) “Itu niat yang luar biasa. Ingat, belajar dengan niat yang benar adalah ibadah. Teruslah belajar, baik ilmu agama maupun ilmu dunia. Jangan lupa, semakin banyak kamu tahu, semakin kamu akan melihat kebesaran Allah di setiap sudut kehidupan.”
Para siswa pun mulai melihat fisika dengan cara pandang yang baru. Pelajaran hari itu tidak hanya tentang rumus dan teori, tetapi juga tentang bagaimana ilmu bisa menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
**
Pak Samsul tersenyum mendengar pertanyaan itu. Ia melihat bahwa diskusi ini semakin dalam, dan siswa-siswa mulai berpikir lebih kritis.
Pak Samsul:
“Pertanyaan yang sangat bagus. Ada sebagian orang yang berpikir bahwa belajar ilmu dunia, seperti fisika, bisa melalaikan kita dari Allah. Tapi apakah itu benar? Mari kita renungkan bersama.”
“Allah menciptakan akal untuk digunakan, bukan untuk diabaikan. Jika belajar fisika membuat kita lebih memahami kebesaran Allah, maka justru itu mendekatkan kita kepada-Nya. Masalahnya bukan pada ilmunya, tetapi pada bagaimana kita mempelajarinya dan untuk apa kita menggunakannya.”
Siswa:
“Tapi, Pak, banyak orang yang terlalu sibuk dengan ilmu dunia sampai lupa beribadah. Bukankah itu berarti ilmu dunia bisa menjauhkan kita dari Allah?”
Pak Samsul:
“Benar, itu bisa terjadi. Tapi bukan hanya ilmu dunia, bahkan ilmu agama pun bisa melalaikan jika hati kita tidak benar. Misalnya, jika seseorang mendalami ilmu agama tetapi hanya untuk pamer atau berdebat, itu juga bisa menjauhkannya dari Allah.”
Siswa lain (menimpali):
“Jadi bukan ilmunya yang salah, tapi cara kita menggunakannya?”
Pak Samsul:
“Tepat sekali! Jika kita belajar fisika hanya untuk mengejar dunia, tanpa mengingat Allah, tentu itu bisa melalaikan. Tapi jika kita belajar fisika untuk memahami kebesaran Allah dan membantu umat manusia, itu menjadi ibadah.”
Pak Samsul melanjutkan dengan sebuah contoh:
“Misalnya, ketika kita mempelajari hukum gravitasi, kita menyadari bahwa Allah menciptakan keseimbangan di alam semesta. Tanpa gravitasi, kita tidak bisa hidup di bumi dengan stabil. Begitu juga dengan hukum-hukum fisika lainnya, semuanya menunjukkan bahwa alam ini diatur dengan begitu sempurna. Itu bukti keberadaan dan kebesaran Allah.”
Siswa (yang bertanya pertama):
“Jadi kalau kita niatkan belajar fisika untuk mencari ridha Allah, itu malah bisa membuat kita lebih mengenal Allah?”
Pak Samsul:
“Benar! Bahkan, Imam Al-Ghazali pernah berkata bahwa ilmu dunia seperti fisika, kedokteran, dan matematika bisa menjadi sarana untuk semakin mengenal Allah, asalkan kita memahami bahwa semua ilmu itu adalah bagian dari ciptaan-Nya.”
Siswa lain:
“Wah, saya baru sadar kalau fisika bukan sekadar rumus dan angka, tapi juga bisa membawa kita lebih dekat kepada Allah.”
Pak Samsul:
(Sambil tersenyum) “Alhamdulillah. Itulah pentingnya memahami ilmu dengan perspektif yang benar. Jika kita mempelajari ilmu dengan hati yang terbuka dan niat yang lurus, maka ilmu apa pun akan membawa kita lebih dekat kepada Allah.”
Kelas pun menjadi semakin hidup. Para siswa yang sebelumnya menganggap fisika membosankan, kini melihatnya sebagai cara untuk memahami keagungan Allah. Pak Samsul pun merasa senang karena telah membuka wawasan mereka tentang hubungan antara ilmu dunia dan ilmu agama.
Pak Samsul berdiri di depan kelas dengan penuh semangat, matanya menatap para siswa yang penuh perhatian. Dengan nada yang penuh harapan, ia memberikan pesan terakhir di kelas hari itu.
Pak Samsul:
“Anak-anakku, genggamlah dunia ini dengan ilmu yang bermanfaat, karena ilmu adalah jalan kita untuk mengabdi kepada Allah. Jangan pernah meremehkan ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu dunia. Jadilah generasi Islam yang unggul, yang mampu menguasai dunia dengan penuh martabat. Dengan ilmu, kita bisa membela agama Allah, memperbaiki umat, dan memberikan manfaat bagi seluruh umat manusia.”
Pak Samsul melanjutkan dengan lembut:
“Ilmu dan temuan-temuan ilmuwan, bahkan yang berasal dari non-Muslim, pada hakikatnya semuanya datang dari Allah. Jangan sungkan untuk mengambil yang baik dan bermanfaat dari mana pun itu, selama itu sesuai dengan prinsip kita sebagai umat Islam. Ingat, segala ilmu yang membawa kebaikan adalah bagian dari hak Allah yang harus kita syukuri.”
Dengan suara penuh semangat, Pak Samsul menambahkan:
“Jadilah ilmuwan yang tidak hanya menguasai teori, tetapi juga mengamalkannya dengan niat yang lurus untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jangan biarkan dunia ini mengalihkanmu dari jalan-Nya. Kuasai dunia dengan ilmu, agar dunia menjadi tempat yang lebih baik bagi kita semua.”
Siswa-siswa di kelas mendengarkan dengan khusyuk. Beberapa di antara mereka terlihat terinspirasi, menyadari betapa besar potensi yang ada dalam diri mereka untuk mengubah dunia melalui ilmu.
Pak Samsul:
“Baiklah, anak-anak, kelas kita hari ini sudah selesai. Terima kasih atas perhatian kalian, semoga apa yang kita pelajari hari ini bisa membawa manfaat. Jangan lupa, belajar itu ibadah, jadi teruslah berusaha untuk mencari ilmu, baik agama maupun dunia.”
Seluruh siswa serempak mengucapkan terima kasih. Beberapa bahkan berdiri, menghormati Pak Samsul yang sudah memberikan pelajaran yang penuh makna.
Siswa:
“Terima kasih, Pak Samsul! Semoga ilmu yang kami pelajari hari ini bermanfaat!”
Pak Samsul:
“Semoga kalian semua menjadi generasi yang cerdas, berakhlak mulia, dan senantiasa dekat dengan Allah. Sampai jumpa di kelas berikutnya. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!”
Seluruh siswa menjawab serempak:
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh!”
Kelas pun berakhir dengan penuh semangat dan harapan baru. Para siswa pulang dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antara ilmu, agama, dan tujuan hidup mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar