Dari Kosmos dan Kehidupan :
Sinergi antara Narasi Ilmiah dan Dalil Agama Islam
Samsul Bahri Guru Fisika MA Dayah Darul Ulum Banda Aceh
Pendahuluan
Dalam upaya memahami asal-usul alam semesta dan kehidupan, terdapat dua pendekatan besar yang seringkali dianggap berbeda secara metodologis: pendekatan ilmiah yang mengandalkan data empiris dan teori evolusi (seperti yang tergambar dalam narasi Big History), dan narasi keagamaan yang mengandung makna spiritual dan simbolis, misalnya dalam ajaran Islam tentang penciptaan manusia melalui Nabi Adam.
Big History menyajikan cerita besar alam semesta mulai dari Big Bang, pembentukan bintang dan planet, hingga evolusi kehidupan dan kemunculan peradaban manusia. Di sisi lain, Islam menegaskan bahwa penciptaan manusia pertama—Adam—adalah peristiwa istimewa di mana Allah menciptakan manusia dari tanah dan memberikan ruh, serta menetapkannya sebagai khalifah (wakil) di muka bumi. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: Bagaimana kedua narasi ini dapat dilihat sebagai bagian dari satu kesatuan pemahaman tentang asal-usul manusia dan peran eksistensialnya? Artikel ini akan mengulas secara mendalam bagaimana ilmu pengetahuan alam, khususnya fisika dan biologi, menyusun narasi evolusi, dan bagaimana pandangan tersebut dapat diharmonisasikan dengan ajaran dalil Islam mengenai penciptaan Adam dan peran khalifah pertama.
1. Narasi Ilmiah: Big History dan Evolusi Manusia
1.1. Kerangka Big History
Big History adalah pendekatan interdisipliner yang mencoba menyatukan sejarah alam semesta ke dalam satu narasi besar. Pendekatan ini membagi perjalanan alam semesta menjadi beberapa ambang batas (thresholds) utama, di antaranya:
- Ambang Kosmik: Dimulai dengan Big Bang sekitar 13,8 miliar tahun lalu, di mana alam semesta muncul dalam kondisi yang sangat panas dan padat. Pengukuran radiasi latar gelombang mikro (CMB) oleh Penzias dan Wilson (1965) memberikan bukti kuat atas teori ini.
- Ambang Astronomi: Pembentukan atom, bintang, dan galaksi melalui proses termonuklir dan gravitasi. Di sinilah elemen-elemen dasar (seperti karbon, oksigen, dan besi) dibentuk di dalam inti bintang, yang kemudian tersebar melalui supernova.
- Ambang Geologis dan Biologis: Terbentuknya Bumi sekitar 4,6 miliar tahun lalu dan munculnya kehidupan pada kondisi “Goldilocks” yang tepat. Teknik penanggalan radiometrik, misalnya, menunjukkan usia Bumi yang mendekati 4,54 miliar tahun (Dalrymple, 1991). Evolusi kehidupan melalui mekanisme seleksi alam kemudian menghasilkan organisme yang semakin kompleks.
- Ambang Kultural: Munculnya Homo sapiens, perkembangan bahasa, budaya, dan sistem sosial. Homo sapiens muncul sekitar 200.000 tahun lalu, dan dengan perkembangan otak serta kemampuan berbahasa, manusia mulai membentuk peradaban dan sistem kepercayaan.
Dalam konteks Big History, manusia muncul bukan sebagai hasil dari intervensi supernatural secara tiba-tiba, melainkan sebagai hasil dari proses evolusi yang panjang dan kumulatif. Data fosil, studi genetika, dan penemuan arkeologis mendukung bahwa evolusi biologis telah menghasilkan makhluk yang memiliki kapasitas untuk berpikir, berbudaya, dan mengembangkan sistem nilai—sebuah proses yang pada akhirnya melahirkan manusia modern.
1.2. Evolusi Manusia dan Titik Transisi ke Keberadaan Spiritual
Dari sudut pandang ilmu pengetahuan, evolusi manusia adalah sebuah proses yang kontinu. Fosil-fosil purba, analisis DNA, serta bukti arkeologis menunjukkan bahwa manusia modern merupakan hasil dari transisi panjang dari hominin awal hingga Homo sapiens. Selama proses evolusi tersebut, beberapa adaptasi penting terjadi, antara lain:
- Perkembangan Otak: Evolusi otak yang semakin besar dan kompleks memberikan kemampuan berpikir abstrak, merencanakan masa depan, dan menciptakan bahasa.
- Kemampuan Sosial dan Budaya: Dengan berkembangnya komunikasi, manusia mulai menciptakan norma, ritual, dan sistem kepercayaan. Hal inilah yang kemudian menyiapkan panggung bagi munculnya narasi keagamaan, di mana manusia mencari penjelasan atas eksistensinya.
Dalam kerangka Big History, titik di mana manusia mulai merenungi asal-usul dan tujuan kehidupan sering dianggap sebagai momen transformatif—sebuah titik di mana makna mulai dibentuk oleh narasi mitologis dan keagamaan. Di sinilah pandangan keagamaan seperti penciptaan Adam dalam Islam mulai muncul sebagai respons terhadap kebutuhan manusia untuk memahami “mengapa” mereka ada.
2. Narasi Keagamaan dalam Islam: Penciptaan Adam dan Peran sebagai Khalifah
2.1. Cerita Penciptaan Adam dalam Al-Qur'an
Dalam ajaran Islam, penciptaan manusia pertama, Adam, merupakan peristiwa yang sangat penting dan mendasar. Al-Qur'an menyatakan bahwa:
- Allah menciptakan Adam dari tanah (Al-Qur'an, Surat Al-Hijr: 28-29), kemudian meniupkan ruh-Nya ke dalamnya, sehingga Adam menjadi makhluk yang memiliki akal dan kesadaran.
- Adam kemudian ditempatkan sebagai khalifah di muka bumi (Al-Qur'an, Surat Al-Baqarah: 30). Peran khalifah ini menunjukkan bahwa manusia diberikan tanggung jawab untuk mengelola, merawat, dan menjaga bumi sebagai titipan Tuhan.
Cerita ini tidak hanya berfungsi sebagai narasi penciptaan, tetapi juga sebagai dasar etis dan spiritual yang menggarisbawahi tanggung jawab manusia dalam menjaga keseimbangan alam dan mengembangkan peradaban yang adil.
2.2. Tinjauan Teologis dan Filosofis tentang Penciptaan Adam
Para ulama dan cendekiawan Islam telah mengemukakan berbagai tafsir mengenai penciptaan Adam, antara lain:
-
Penciptaan Secara Khusus:
Menurut sebagian besar tafsir klasik, Adam diciptakan secara khusus oleh Allah, bukan sebagai hasil evolusi secara murni. Hal ini menandakan adanya intervensi ilahi yang memisahkan manusia dari makhluk lain, terutama dalam hal pemberian akal dan kapasitas spiritual. -
Peran sebagai Khalifah:
Posisi Adam sebagai khalifah mengandung makna bahwa manusia diberi peran istimewa untuk mengelola bumi. Tanggung jawab ini mencakup menjaga lingkungan, menggunakan sumber daya secara bijaksana, dan menerapkan keadilan sosial.
(Referensi: Al-Qur'an, Surat Al-Baqarah: 30; Tafsir Ibnu Katsir) -
Interpretasi Kontemporer:
Beberapa cendekiawan Muslim kontemporer mencoba mengharmonisasikan narasi penciptaan Adam dengan temuan ilmiah tentang evolusi. Ada pandangan yang menyatakan bahwa proses evolusi biologis dapat berjalan paralel dengan penciptaan eksistensi spiritual yang unik pada titik tertentu, yang diwakili oleh penciptaan Adam. Pandangan ini berargumen bahwa meskipun tubuh manusia berevolusi, pemberian akal, kesadaran, dan kemampuan beriman merupakan anugerah ilahi yang tidak dijelaskan oleh mekanisme evolusi semata.
(Referensi: Fazlur Rahman, “Islam and Modernity”, serta pemikiran cendekiawan seperti Harun Yahya)
2.3. Fungsi Narasi Penciptaan Adam dalam Konteks Sosial dan Budaya
Narasi penciptaan Adam berfungsi sebagai kerangka mitologis dan normatif yang mendasari identitas umat Islam. Beberapa fungsinya antara lain:
-
Pembentukan Identitas Spiritual:
Cerita penciptaan Adam menegaskan bahwa manusia memiliki asal-usul yang istimewa dan tanggung jawab moral serta etika sebagai khalifah. Ini memberikan dasar bagi perkembangan hukum-hukum dan norma sosial dalam masyarakat Islam. -
Landasan Etika dan Kewajiban Sosial:
Dengan ditetapkannya Adam sebagai khalifah, umat Islam diajarkan untuk menjaga keseimbangan alam dan menghormati ciptaan Allah. Konsep ini tercermin dalam ajaran tentang keadilan, pengelolaan sumber daya, dan tanggung jawab sosial. -
Motivasi dalam Pencarian Ilmu:
Ajaran Islam menekankan bahwa mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Penciptaan Adam dan peran sebagai khalifah menginspirasi umat untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan alam sebagai upaya untuk mengenal lebih jauh tanda-tanda kebesaran Allah yang termanifestasi dalam alam.
3. Analisis Sinergi antara Big History dan Narasi Penciptaan Adam dalam Islam
3.1. Perspektif Ilmiah tentang Munculnya Manusia
Dalam narasi Big History, evolusi manusia terjadi sebagai hasil dari proses alami yang berlangsung selama jutaan tahun. Data fosil dan penelitian genetika menunjukkan bahwa Homo sapiens merupakan hasil evolusi yang kompleks dan gradual, bukan penciptaan mendadak dari bentuk non-manusia. Di sisi lain, Big History mengakui bahwa munculnya kecerdasan dan budaya manusia merupakan titik transformatif yang menandai pergeseran dari sifat murni biologis menuju kesadaran dan kemampuan simbolis yang luar biasa.
3.2. Tantangan dan Upaya Rekonsiliasi
Tantangan utama dalam mengharmonisasikan narasi ilmiah dengan narasi penciptaan Adam adalah perbedaan metodologis:
- Ilmu Pengetahuan Alam: Menggunakan data empiris dan teori evolusi untuk menjelaskan "bagaimana" manusia muncul melalui proses alamiah.
- Narasi Keagamaan Islam: Menekankan aspek metaforis, spiritual, dan normatif dalam penciptaan manusia yang diciptakan secara khusus oleh Allah, dengan penekanan pada pemberian akal, kehormatan, dan tanggung jawab sebagai khalifah.
Beberapa pemikir Muslim berpendapat bahwa kedua narasi tersebut tidak harus saling bertentangan. Ada kemungkinan untuk melihat bahwa proses evolusi dapat menjelaskan perkembangan fisik manusia, sementara penciptaan Adam sebagai entitas spiritual memberikan dimensi eksistensial dan moral yang tidak dapat dijelaskan oleh sains semata. Dengan kata lain, tubuh manusia mungkin berevolusi secara alamiah, tetapi pemberian akal dan jiwa merupakan bentuk anugerah ilahi yang menjadikan manusia istimewa.
(Referensi: Fazlur Rahman, “Islam and Modernity”; Harun Yahya; kajian ulama kontemporer tentang evolusi dan penciptaan)
3.3. Keterkaitan Konsep Khalifah dengan Evolusi Budaya
Dalam Islam, penunjukan Adam sebagai khalifah tidak hanya menandai penciptaan manusia pertama, tetapi juga menetapkan peran penting manusia dalam mengelola bumi. Konsep ini memiliki kemiripan dengan transisi budaya dalam Big History, di mana munculnya manusia modern membawa perubahan besar dalam cara alam dikelola. Sebagai contoh:
-
Manusia sebagai Agen Perubahan:
Evolusi budaya yang ditandai dengan munculnya bahasa, seni, dan sistem kepercayaan merupakan bukti bahwa manusia memiliki kemampuan unik untuk mengubah dan mengelola lingkungan mereka. Hal ini sejalan dengan peran khalifah yang diberikan kepada Adam, yang menyiratkan tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan dan mengelola sumber daya alam dengan bijaksana. -
Etika Pengelolaan Alam:
Ajaran Islam tentang tanggung jawab manusia sebagai khalifah menekankan pentingnya menjaga alam. Dalam konteks Big History, hal ini dapat diterjemahkan sebagai suatu peringatan bahwa perkembangan peradaban manusia harus disertai dengan kesadaran etis dalam penggunaan dan pengelolaan sumber daya alam, agar tidak mengganggu keseimbangan ekosistem yang telah terbentuk melalui jutaan tahun evolusi.
3.4. Data Empiris dan Tafsir Keagamaan sebagai Dua Pilar Kebenaran
Data empiris dari penelitian evolusi, fosil, dan observasi kosmologis memberikan gambaran yang jelas tentang perjalanan alam semesta dan munculnya manusia. Sementara itu, tafsir ayat-ayat Al-Qur'an dan tradisi keilmuan Islam memberikan kerangka normatif dan filosofis yang mengarahkan manusia untuk merenungi makna dan tujuan keberadaan.
Dalam hal ini:
- Ilmu Pengetahuan Alam: Menjawab pertanyaan “bagaimana” manusia muncul dan berevolusi.
- Ajaran Islam: Menjawab pertanyaan “mengapa” manusia diciptakan dengan kemampuan berpikir, serta mengapa manusia diberikan peran sebagai khalifah untuk mengelola bumi.
Kedua aspek ini, jika dilihat secara sinergis, tidaklah saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Seorang Muslim yang mengejar ilmu pengetahuan alam dapat melihat temuan-temuan ilmiah sebagai manifestasi dari tanda-tanda kebesaran Allah, sementara pemahaman spiritual tentang penciptaan Adam memberikan kedalaman makna yang melampaui penjelasan mekanistik semata.
4. Implikasi Filosofis dan Etis dari Rekonsiliasi Narasi
4.1. Menemukan Kebenaran Multidimensi
Integrasi antara data ilmiah dan tafsir keagamaan membuka ruang bagi pemahaman yang lebih holistik mengenai alam semesta. Pendekatan multidimensi ini mengakui bahwa kebenaran tidak hanya dapat diukur melalui parameter empiris, tetapi juga melalui nilai-nilai spiritual dan etika. Dengan demikian, narasi penciptaan Adam sebagai khalifah pertama tidak hanya menjadi cerita mitologis, melainkan juga sebuah landasan untuk membangun tata kelola alam dan masyarakat yang adil serta berkelanjutan.
4.2. Tanggung Jawab Manusia sebagai Pengelola Alam
Konsep khalifah dalam Islam menekankan bahwa manusia memiliki peran untuk mengelola bumi secara adil dan bertanggung jawab. Hal ini memiliki implikasi etis yang kuat dalam konteks modern, di mana penggunaan sumber daya alam secara berlebihan dan kerusakan lingkungan menjadi isu global. Pencarian ilmu pengetahuan, dalam hal ini, tidak hanya bertujuan untuk memahami alam semesta, tetapi juga untuk menemukan cara-cara yang dapat menjaga dan melestarikannya sebagai amanah dari Sang Pencipta.
4.3. Dialog antara Sains dan Iman: Membangun Jembatan Pemahaman
Perbedaan metodologis antara ilmu pengetahuan alam dan tafsir keagamaan kerap menimbulkan ketegangan, namun melalui pendekatan Big History, kita dapat melihat bahwa kedua bidang tersebut memiliki tujuan yang sama: memahami realitas secara menyeluruh.
Dialog antara sains dan iman mengajarkan bahwa:
- Ilmu pengetahuan alam memberikan jawaban atas mekanisme dan proses alam secara empiris.
- Ajaran Islam memberikan makna dan tujuan yang mendalam dalam konteks keberadaan manusia.
Sinergi ini mendorong manusia untuk tidak terjebak dalam dualisme antara "ilmiah" dan "rohani," melainkan untuk melihat keduanya sebagai aspek integral dari pencarian kebenaran.
5. Studi Kasus: Rekonsiliasi Pandangan Evolusi dan Narasi Penciptaan Adam
5.1. Interpretasi Ilmiah dan Teologis dalam Konteks Penciptaan
Beberapa pemikir Muslim kontemporer telah mencoba menginterpretasikan data evolusi dalam kerangka penciptaan Adam. Misalnya, mereka berargumen bahwa:
-
Evolusi Biologis sebagai Mekanisme Penciptaan:
Proses evolusi yang telah berlangsung selama jutaan tahun dapat dilihat sebagai alat yang digunakan oleh Allah untuk “membentuk” manusia. Dalam pandangan ini, tubuh manusia berevolusi secara alami, namun pemberian ruh dan kesadaran (yang membuat manusia memiliki kapasitas moral dan spiritual) adalah intervensi ilahi yang tidak dijelaskan oleh sains.
(Referensi: Fazlur Rahman, “Islam and Modernity”; diskusi dalam forum ilmiah Islam) -
Adam sebagai Titik Transformatif:
Adam dapat dilihat sebagai titik transformatif di mana manusia tidak lagi hanya sekadar hasil dari proses evolusi biologis, melainkan mendapatkan dimensi eksistensial yang unik. Dengan diberikannya akal, bahasa, dan kemampuan untuk merenungi alam, Adam menandai pergeseran dari entitas biologis biasa menjadi makhluk yang memiliki tanggung jawab sebagai khalifah.
(Referensi: Tafsir Ibnu Katsir; studi-studi kontemporer dalam kajian Islam dan evolusi)
5.2. Bukti Empiris dan Tafsir Klasik
Walaupun bukti empiris seperti fosil dan data genetika mendukung model evolusi, bukti-bukti ini tidak secara langsung mengontradiksi narasi penciptaan Adam dalam perspektif keagamaan. Banyak ulama dan cendekiawan berpendapat bahwa sains dan wahyu memiliki ranah masing-masing:
- Sains menjelaskan mekanisme alam yang dapat diukur dan diuji.
- Wahyu menyampaikan makna dan tujuan di balik penciptaan alam serta peran manusia di dalamnya.
Pandangan ini mengajak kita untuk menyadari bahwa narasi penciptaan dalam Al-Qur'an bersifat normatif dan simbolis, sedangkan data ilmiah bersifat deskriptif. Keduanya dapat dipandang sebagai dua cara untuk mendekati kebenaran yang sama, yakni keteraturan alam semesta yang luar biasa dan peran manusia sebagai pengelola ciptaan Allah.
6. Implikasi Praktis dan Relevansi Kontemporer
6.1. Penerapan Nilai-nilai Etis dalam Pengelolaan Lingkungan
Konsep khalifah dalam Islam mengajarkan bahwa manusia harus menjaga dan mengelola bumi dengan penuh tanggung jawab. Dalam era modern yang diwarnai dengan krisis lingkungan, pemahaman ini menjadi sangat relevan. Ilmu pengetahuan alam telah menunjukkan bahwa bumi memiliki keterbatasan sumber daya, dan eksploitasi berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan ekologis.
Mengintegrasikan nilai-nilai etis dari narasi penciptaan Adam dengan data ilmiah tentang perubahan iklim dan kerusakan lingkungan dapat mendorong pengembangan strategi pengelolaan yang berkelanjutan. Pendekatan ini menuntut agar setiap inovasi ilmiah dan teknologi tidak hanya mengejar efisiensi, tetapi juga memperhatikan aspek moral dan spiritual untuk menjaga keseimbangan alam.
6.2. Mendorong Dialog Interdisipliner antara Ilmu dan Agama
Sinergi antara sains dan iman membuka peluang untuk dialog interdisipliner yang konstruktif.
- Pendidikan:
Kurikulum yang mengintegrasikan Big History dan ajaran Islam dapat membantu generasi muda memahami alam semesta secara holistik, melihat bahwa pencarian ilmu pengetahuan dan pencarian spiritual tidak harus saling bertolak belakang. - Penelitian:
Penelitian di bidang biologi evolusioner dan kosmologi dapat dikaitkan dengan kajian tafsir keagamaan untuk mengeksplorasi bagaimana narasi penciptaan dan evolusi dapat saling mengisi, membuka ruang untuk model-model baru yang mengakomodasi kedua perspektif. - Kebijakan Publik:
Pendekatan holistik yang menggabungkan nilai-nilai ilmiah dan etis dapat menjadi dasar bagi kebijakan lingkungan yang lebih berkelanjutan dan adil, mengingat bahwa tanggung jawab manusia sebagai khalifah menyiratkan kewajiban untuk melestarikan bumi bagi generasi mendatang.
6.3. Mengatasi Tantangan Epistemologis
Meskipun terdapat potensi sinergi, tantangan epistemologis tetap ada:
- Metodologi yang Berbeda:
Sains menggunakan metode empiris, percobaan, dan verifikasi, sedangkan tafsir keagamaan menggunakan metode hermeneutik dan refleksi spiritual. Membangun dialog yang efektif memerlukan pemahaman bahwa kedua metodologi tersebut memiliki kekuatan dan keterbatasan masing-masing. - Risiko Reduksi:
Ada risiko bahwa dalam upaya mengharmonisasikan kedua pandangan, makna spiritual dapat direduksi menjadi sekadar data empiris atau sebaliknya, data ilmiah dapat disalahartikan secara dogmatis. Dialog yang sehat harus mengakui kompleksitas dan multidemensi kebenaran.
7. Kesimpulan
Dalam rangka memahami asal-usul manusia dan peran istimewa yang diberikan kepada mereka sebagai khalifah di bumi, kita dapat mengambil pelajaran dari kedua pendekatan besar: narasi Big History yang didukung oleh data empiris dari fisika, astronomi, dan biologi, serta narasi penciptaan Adam dalam ajaran Islam yang menyampaikan makna spiritual dan etika.
-
Dari sisi ilmiah, Big History menyusun gambaran evolusi alam semesta sebagai proses berkelanjutan yang melibatkan pembentukan materi, evolusi bintang, dan munculnya kehidupan melalui mekanisme alamiah. Data kosmologis seperti CMB, penemuan fosil, dan analisis genetika memberikan bukti kuat bahwa manusia adalah hasil dari proses evolusi panjang yang mengubah struktur sederhana menjadi entitas yang kompleks.
-
Dari sisi keagamaan, narasi penciptaan Adam menyajikan titik balik eksistensial di mana manusia tidak hanya muncul secara biologis, tetapi juga diberi akal, kesadaran, dan tanggung jawab moral sebagai khalifah Allah. Konsep ini memberikan landasan bagi nilai-nilai etis dan spiritual yang mendorong manusia untuk menjaga dan mengelola bumi dengan bijaksana.
Dengan demikian, meskipun kedua narasi tersebut berasal dari paradigma yang berbeda—ilmu pengetahuan empiris dan wahyu ilahi—keduanya tidak harus saling bertentangan. Sebaliknya, mereka dapat dilihat sebagai dua lensa yang saling melengkapi dalam upaya memahami hakikat alam semesta dan posisi manusia di dalamnya. Sinergi antara Big History dan narasi penciptaan Adam mengajak kita untuk merenungi bahwa keteraturan alam yang dipelajari oleh fisika dan evolusi merupakan manifestasi dari kekuasaan dan hikmah ilahi, sedangkan peran manusia sebagai khalifah mengandung panggilan etis untuk mengelola ciptaan tersebut secara bertanggung jawab.
Dalam konteks global dan interdisipliner, pemahaman ini membuka peluang untuk dialog yang lebih dalam antara sains dan iman, menginspirasi pendidikan yang holistik, dan mendorong kebijakan publik yang berfokus pada keberlanjutan. Pada akhirnya, pencarian kebenaran adalah perjalanan yang mencakup aspek empiris dan spiritual, di mana ilmu pengetahuan dan keimanan bersama-sama memberikan panduan untuk memahami dan menghargai keajaiban alam semesta.
Daftar Referensi
- Penzias, A.A. & Wilson, R.W. (1965). "A Measurement of Excess Antenna Temperature at 4080 Mc/s". Astrophysical Journal.
- Riess, A.G. et al. (2016). "A 2.4% Determination of the Local Value of the Hubble Constant", Astrophysical Journal.
- Chaisson, E.J. (2001). Cosmic Evolution: Rise of Complexity in Nature. Harvard University Press.
- Christian, D. (2004). Maps of Time: An Introduction to Big History. University of California Press.
- Dalrymple, G.B. (1991). The Age of the Earth. Stanford University Press.
- Prothero, D.R. (2007). Evolution: What the Fossils Say and Why It Matters. Columbia University Press.
- Al-Qur'an, Surat Al-Hijr: 28-29; Surat Al-Baqarah: 30; Surat Ar-Rahman: 7-9; Surat Al-Anbiya: 30.
- Tafsir Ibnu Katsir (terjemahan dan komentar klasik mengenai penciptaan Adam).
- Fazlur Rahman, Islam and Modernity.
- Luminet, J.-P. (2016). Creation, Chaos, Time: from Myth to Modern Cosmology. arXiv.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar