Minggu, 09 Februari 2025

Mengembalikan Makna Pendidikan: Dari Nilai Palsu ke Kompetensi Asli


Menolak Pseudo : menegakkan Akuntabilitas dan kejujuran

Samsul Bahri, S.Pd., M.Pd.
Guru Fisika MA Darul Ulum Banda Aceh 

Pendahuluan

Kualitas pendidikan di Indonesia kian merosot akibat praktik-praktik yang tidak mencerminkan kompetensi riil siswa. Di tengah tekanan untuk memenuhi target nilai dan citra sekolah, praktik “nilai aman” atau markup nilai telah menciptakan lingkaran setan yang merugikan masa depan generasi mendatang. Artikel ini mengajak kita untuk mengkritisi secara sistematis fenomena tersebut, menyuarakan pentingnya sistem asesmen yang berstandar dan accountable, serta menegaskan perlunya keberanian dalam menunda kenaikan kelas atau kelulusan bagi siswa yang belum mencapai kompetensi yang ditetapkan.

Dilema Guru: Antara Tuntutan Administratif dan Tanggung Jawab Pembelajaran

Guru kerap kali berada di posisi yang terjebak antara harapan pimpinan dan kenyataan kompetensi siswa. Di satu sisi, ada tekanan untuk menaikkan nilai demi menjaga reputasi sekolah atau memenuhi target administrasi. Di sisi lain, keinginan untuk mendidik siswa secara otentik menghadapkan guru pada pilihan sulit: memberikan nilai sesuai kemampuan yang sebenarnya—dan berisiko dianggap gagal—atau melakukan markup nilai yang pada akhirnya menipu proses pembelajaran. Praktik semacam inilah yang seringkali disebut sebagai pseudopendidikan, karena menghasilkan angka-angka semu tanpa mengangkat kompetensi sebenarnya.

Kompetensi Siswa yang Mengkhawatirkan

Rendahnya kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung bukan hanya masalah statistik, melainkan cermin nyata dari proses belajar yang terganggu. Faktor-faktor seperti motivasi yang rendah, dukungan lingkungan yang minim, dan metode pengajaran yang tidak efektif turut memperparah situasi. Nilai “aman” yang tidak valid justru memantapkan kesenjangan kompetensi antar siswa, sehingga ketika mereka melangkah ke jenjang berikutnya, dasar pembelajaran yang lemah menjadi hambatan serius.

Markup Nilai: Penghancur Masa Depan dan Pseudopendidikan

Markup nilai, meskipun sering dianggap sebagai solusi praktis, sebenarnya hanyalah strategi semu untuk mengatasi kekurangan sistem. Praktik ini memberikan ilusi keberhasilan yang sesungguhnya tidak pernah ada, karena nilai yang diberikan tidak mencerminkan capaian belajar. Ironisnya, manipulasi nilai ini justru menghambat motivasi belajar siswa, karena mereka tidak menyadari bahwa kelulusan yang dicapai adalah hasil dari penilaian yang palsu. Di Aceh, sebagai salah satu wilayah yang telah mencatat kasus serupa, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) mengambil langkah tegas dengan memasukkan sekolah-sekolah yang terbukti memalsukan nilai rapor dalam daftar hitam—sebuah langkah nyata untuk menegakkan integritas dan akuntabilitas dalam sistem pendidikan.

Logika Sesat di Balik “Nilai Aman”

Pendekatan yang membenarkan markup nilai kerap kali dilatarbelakangi oleh logika yang keliru. Anggapan bahwa guru tidak boleh tampak “killer” atau “pelit nilai” demi menjaga kenyamanan siswa dan reputasi sekolah justru mengabaikan hakikat pembelajaran yang sejati. Ketika nilai yang tidak valid diteruskan sebagai tolak ukur pencapaian, siswa pun kehilangan kesempatan untuk belajar dari kegagalan dan memperbaiki diri. Ironisnya, upaya untuk menghindari kegagalan justru berakhir menciptakan generasi yang tidak siap menghadapi tantangan di dunia nyata.

Ketegasan dalam Menunda Kenaikan Kelas: Pendidikan Karakter Sejati

Menunda kenaikan kelas atau kelulusan bagi siswa yang belum mencapai kompetensi bukanlah tindakan sewenang-wenang. Sebaliknya, langkah tegas ini merupakan bagian dari pendidikan karakter yang mendidik siswa untuk bertanggung jawab atas proses belajarnya sendiri. Dengan tidak memberikan kelulusan secara otomatis, siswa didorong untuk mengatasi kelemahan mereka, memperbaiki diri, dan memahami bahwa keberhasilan memerlukan usaha yang konsisten. Tindakan ini, meskipun awalnya terasa keras, sebenarnya adalah bentuk perlindungan jangka panjang bagi siswa agar mereka tidak tersandung di jenjang selanjutnya.

Dengan Menunda kenaikkan kelas/kelulusan, kemudian siswa diberikan kesempatan belajar ulang (remedial) untuk memperbaiki kompetensinya dan selanjutnya mengikuti assessment ulang. Cara ini dapat membuat siswa menjadi dewasa dan bertanggung jawab terhadap belajarnya.

Pendidikan Humanis dan Auto-Kritik atas Pseudopendidikan

Pendidikan humanis sejati menghargai potensi setiap individu dan tidak semata-mata mengedepankan angka. Di sinilah pentingnya auto-kritik dalam dunia pendidikan—untuk mengakui dan memperbaiki praktik-praktik yang hanya mengejar target semu, tanpa menyentuh esensi pembelajaran. Pseudopendidikan, yang menghasilkan “nilai aman” dan manipulasi data, harus ditinggalkan demi terciptanya lingkungan belajar yang mendorong kreativitas, inovasi, dan ketulusan dalam proses pembelajaran.

Refleksi Kasus di Aceh sebagai Cermin Perubahan

Kasus pemalsuan nilai di Aceh yang berujung pada tindakan tegas Unsyiah memberikan pelajaran penting bahwa integritas dalam penilaian harus ditegakkan di semua wilayah. Langkah blacklisting terhadap sekolah-sekolah yang terbukti melakukan manipulasi nilai menunjukkan bahwa akuntabilitas tidak boleh dikompromikan. Ini adalah contoh nyata bahwa reformasi pendidikan harus dimulai dari akar permasalahan—yaitu sistem asesmen yang valid dan transparan serta penerapan kebijakan yang mendidik siswa untuk bertanggung jawab secara nyata.

Kesimpulan dan Ajakan Perubahan

Revolusi pendidikan yang sejati harus menolak pseudopendidikan yang hanya menghasilkan angka semu. Kita perlu menerapkan sistem asesmen yang berstandar dan accountable, serta tidak takut untuk menunda kelulusan atau kenaikan kelas bagi siswa yang belum siap. Dengan demikian, setiap elemen—sekolah, guru, dan orang tua—harus bersinergi untuk memastikan bahwa setiap anak benar-benar menguasai kompetensi yang dibutuhkan. Langkah-langkah tegas dan auto-kritik seperti ini merupakan fondasi untuk membangun generasi unggul dan bertanggung jawab, yang siap menghadapi tantangan di era global.

Mari kita jadikan kasus di Aceh dan pengalaman di seluruh Nusantara sebagai pendorong untuk melakukan perbaikan mendasar. Transformasi pendidikan dimulai dari kesadaran kolektif untuk menolak sistem yang hanya mengejar angka, dan berani membuka lembaran baru yang menempatkan integritas, akuntabilitas, dan pendidikan karakter sebagai prioritas utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dayah Modern Darul Ulum YPUI Banda Aceh Pelepasan lulusan Angkat ke 30 tahun 2025

Banda Aceh – Dayah Modern Darul Ulum YPUI Banda Aceh lakukan pelepasan lulusan. Angkatan ke 30 jenjang MTs (kelas IX) dan MA (kelas XII) pad...